Tradisi Saparan: Sebuah Refleksi Nilai-nilai Syukur Masyarakat Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Semarang

Winston Lovevinzy Kakampu, Revin Yoel Sanggalangi, Yohanes Tri Darmawan, dan Irene Patricia Pantow. Dok/Ist.

Tradisi Saparan mengajarkan tentang pentingnya menjaga rasa persaudaraan, meningkatkan rasa peduli dan dukungan antar sesama serta pelestarian budaya lokal.

Oleh Winston Lovevinzy Kakampu, Revin Yoel Sanggalangi, Yohanes Tri Darmawan, Irene Patricia Pantow – Mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW Salatiga

Syukur (gratitude) merupakan sebuah konsep hidup yang memunculkan emosi-emosi positif untuk mengekspresikan kebahagiaan dan rasa terima kasih pada segala kebaikan yang diterima oleh seorang individu (Seligman, 2002). Syukur (gratitude) merupakan nilai terpenting dalam diri individu dan menjadi akar dari berbagai nilai kebaikan (Emmons & Crumpler, 2000). Individu yang bersyukur akan selalu lekat dengan kata gratia yang berarti berbahagia, baik, murah hati, dan kebajikan (Emmons, 2007). Dengan kata lain, rasa syukur menjadi kunci penting seorang individu dalam mencapai kebahagiaannya.

Akan tetapi, kenyataan yang ada tidak sesuai dengan yang diharapkan. Banyak individu yang belum bisa mengilhami dan mencapai rasa syukur dalam kehidupannya. Hasil wawancara awal penulis menunjukkan bahwa, 20 dari 25 individu merasa kurang bersyukur dalam kehidupannya. Menurut mereka, kurangnya rasa syukur disebabkan karena banyak hal dalam dunia ini yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang mereka ekspektasikan, sehingga ketidakbersyukuran dan kekecewaan pun menjadi lebih mendominasi.

Apabila dibiarkan begitu saja, maka kurangnya rasa syukur ini akan memunculkan banyak dampak negatif pada kesejahteraan psikologis individu itu sendiri (Prabowo, 2017). Sehingga, penting bagi kita untuk mengatasi hal ini dengan efektif. Salah satu cara untuk membantu individu mengembangkan rasa syukur adalah dengan belajar dari berbagai tradisi dan ritual dalam kebudayaan lokal yang ada di Indonesia.

Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan keberagaman budaya. Hal ini tercermin dari beragam tradisi dan ritual yang masih dilestarikan hingga saat ini. Salah satu tradisi yang menarik untuk dipelajari adalah tradisi Saparan. Tradisi Saparan merupakan salah satu warisan kearifan lokal yang kental dengan nilai-nilai spiritual, sosial, dan estetika. Tradisi Saparan memiliki akar sejarah yang panjang dan telah melekat dalam kehidupan masyarakatnya.

Dalam bahasa Jawa, “Saparan” berarti “bersih” atau “menghilangkan kotoran”. Tradisi ini biasanya dilaksanakan menjelang perayaan Hari Raya Idulfitri, sebagai simbolisasi dari pembersihan diri, baik fisik maupun spiritual, sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Salah satu desa yang masih menerapkan tradisi Saparan ini adalah Desa Tajuk yang terletak di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tradisi Saparan di Desa Tajuk memiliki aspek yang menarik untuk dieksplorasi yaitu konsep syukurnya. Konsep syukur dalam tradisi Saparan di Desa Tajuk berbeda dengan konsep syukur dalam pada beberapa tradisi lainnya. Alih-alih mengucap syukur ketika telah menerima berkat dan kebaikan, tradisi Saparan di desa ini justru menekankan untuk tetap bersyukur dalam setiap keadaan baik itu susah maupun senang. Oleh karena itu kami ‘selaku kelompok 3’ ingin membahas dengan lebih mendalam mengenai, bagaimana wujud rasa syukur masyarakat Desa Tajuk dalam tradisi tradisi Saparan dan bagaimana tradisi ini dapat meningkatkan rasa syukur berdasarkan sudut pandang kebahagiaan eudaimonia dalam psikologi positif.

Tradisi Saparan biasanya dilakukan pada bulan safar dan dimulai sebagai bagian dari acara merti desa, yang merupakan sebuah upacara syukuran dan selamatan di masyarakat Jawa. Saparan menjadi salah satu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Jawa, di mana mereka berharap untuk mendapatkan keselamatan dan berkah baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dengan melakukan tradisi Saparan, masyarakat Jawa berusaha untuk menghadirkan perasaan syukur dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan mencapai keberuntungan di masa depan (Dosmarosha & Pahlawan, 2020).

Tradisi Saparan pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Setiap daerah mempunyai ciri khas dan proses yang berbeda (Ningsih, 2019), begitu pula dengan Desa Tajuk. Tradisi Saparan di Desa Tajuk dilaksanakan selama kurang lebih tiga hari. Pada dua hari pertama, masyarakat akan mengadakan berbagai acara hiburan seperti wayang golek, reog, dan juga dangdut sebagai persiapan awal perayaan. Puncak hari raya Saparan ada di hari ketiga, di mana prosesinya akan dimulai dengan pengantaran tumpeng dari setiap rumah masyarakat ke rumah kepala desa sebagai tanda penghormatan serta ungkapan syukur atas berkat yang diterima.

Meskipun tumpeng dalam prosesi ini sifatnya tidak wajib, namun sebagai gantinya masyarakat diharuskan untuk membawa makanan yang berbahan dasar nasi. Apabila telah terkumpul, semua tumpeng yang telah disiapkan ini akan didoakan secara khidmat oleh seorang tetua adat yang dipilih oleh masyarakat di Desa Tajuk. Setelah doa selesai, masyarakat akan membawa tumpeng kembali ke rumah masing-masing untuk dinikmati bersama. Dalam perayaan ini, masyarakat dengan penuh kegembiraan akan mengundang berbagai keluarga serta kerabat mereka untuk berpartisipasi dalam jamuan makan yang meriah. Setelah itu, masyarakat akan kembali melanjutkan berbagai acara-acara hiburan yang telah lebih dulu dilaksanakan di hari pertama dan kedua.

Tradisi Saparan di Desa Tajuk menjadi perayaan yang tak hanya sekadar ritual, tetapi juga membawa makna mendalam dalam kehidupan masyarakatnya. Praktik bersyukur yang diwujudkan dalam tradisi Saparan mengajarkan masyarakat untuk menghargai berkat dan nikmat yang mereka terima dari alam dan Tuhan.

Satu hal penting yang perlu digaris bawahi adalah, masyarakat Desa Tajuk menyelenggarakan tradisi Saparan tidak hanya ketika hasil pertanian dan peternakan melimpah, tetapi juga dalam keadaan hasil yang kurang memuaskan. Hal ini menunjukkan kemampuan mereka untuk memelihara sikap bersyukur dalam setiap keadaan yang berhubungan lekat dengan konsep kebahagiaan eudaimonic dalam psikologi positif.

Walterman (1993) menjelaskan kebahagiaan eudaimonic sebagai cara manusia untuk memperoleh kebahagiaan dengan hidup sesuai dengan daimon atau jati dirinya sendiri. Cara hidup ini termanifestasi dalam berbagai aktivitas seperti membina hubungan yang bermakna dengan orang lain, menjadi bagian dari suatu kelompok (relatedness & belongingness), menerima diri apa adanya, serta mencari jati diri dan tujuan hidup (Steger, dkk. 2007).

Kebahagiaan eudaimonic berbeda dengan kebahagiaan hedonic. Kebahagiaan hedonic berpusat pada upaya mencari kesenangan dan menghindari penderitaan, sehingga individu akan merasakan kebahagiaan walaupun hanya dalam jangka waktu singkat. Sedangkan kebahagiaan eudaimonic berpusat pada pemenuhan sisi psikologis dan spiritual seorang manusia dengan menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai, potensi, dan tujuan pribadinya, sehingga kebahagiaan yang dirasakan akan berkelanjutan.

Praktik bersyukur dalam tradisi Saparan di Desa Tajuk amat erat kaitannya dengan konsep penerimaan diri individu untuk mencapai kebahagiaan eudaimonic. Masyarakat Desa Tajuk tetap akan bersyukur dan berbahagia baik itu dalam kondisi hasil panen yang melimpah ataupun kurang. Sikap ini mencerminkan kemampuan penerimaan dan apresiasi terhadap setiap momen dalam hidup, baik itu yang membawa sukacita maupun kesulitan. Ketika mereka mengalami tantangan, mereka tidak menilai diri mereka berdasarkan hasil material semata, melainkan lebih pada pengalaman pertumbuhan dan pembelajaran yang berarti dalam mencapai makna hidup yang lebih dalam. Hal ini menegaskan bahwa menerima diri apa adanya menjadi fondasi kuat dalam membentuk kebahagiaan yang tahan lama dan bermakna bagi masyarakat Desa Tajuk.

Selanjutnya, tradisi Saparan di Desa Tajuk selaras dengan konsep relatedness dan belongingness dalam kebahagiaan eudaimonic. Masyarakat Desa Tajuk dapat membina hubungan yang bermakna dan saling terhubung dengan sesama melalui partisipasi aktif dalam prosesi perayaan tradisi Saparan. Keterlibatan kolektif ini mencerminkan adanya relatedness, di mana mereka merayakan perayaan dengan saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Rasa keterhubungan ini juga menghasilkan perasaan belongingness yang kuat, di mana setiap individu merasa diakui dan diterima sebagai bagian penting dari masyarakat. Tradisi Saparan di Desa Tajuk tidak hanya merayakan kebahagiaan, tetapi juga memperkuat identitas dan solidaritas komunitas, serta memainkan peran penting dalam mencapai kesejahteraan psikologis masyarakatnya secara menyeluruh.

Akan tetapi, euforia dalam tradisi Saparan ini ternyata berdampak negatif terhadap kedisiplinan siswa-siswa di Desa Tajuk. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar anak di Desa Tajuk akan membolos sekolah karena lebih tertarik untuk mengikuti perayaan Saparan.

Selain itu, perayaan yang berlangsung selama beberapa hari ini dapat mengganggu jadwal belajar siswa, terutama jika tumpang tindih dengan ujian atau kegiatan akademis penting lainnya. Hal ini dapat menyulitkan siswa untuk mempersiapkan diri dengan baik dan berpotensi menurunkan hasil belajar mereka.

Solusi yang dapat diambil untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengadakan tradisi Saparan di sekolah itu sendiri. Tradisi Saparan ini dapat dikemas dalam berbagai bentuk games dan kegiatan lainnya, sehingga akan membuatnya menjadi lebih menarik. Cara ini juga bisa membuat anak sekolah tidak merasa bosan, karena mereka akan penasaran dengan bentuk dan konsep perayaan tradisi Saparan di sekolah mereka. Seperti contohnya, kegiatan tumpeng hunt untuk anak SMP-SMA dan lomba mewarnai untuk anak SD.

Tumpeng hunt merupakan sebuah kegiatan yang menarik, di mana para peserta beradu cepat dalam mencari bahan dan membuat tumpeng secara kreatif. Acara ini dimulai dengan koordinasi pembuatan pos games antara guru, dan mungkin juga melibatkan orang tua murid. Setiap pos akan berisi berbagai games atau pertanyaan yang terkait dengan jadwal mata pelajaran di hari itu, dan diselingi dengan pertanyaan tentang sejarah, makna, serta nilai-nilai dari tradisi Saparan.

Setelah itu, siswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok harus untuk menyelesaikan semua challenge di setiap pos yang ada. Jika mereka berhasil menyelesaikan tantangan, mereka akan mendapatkan bahan untuk membuat nasi tumpeng dari masing-masing pos. Setelah semua bahan terkumpul, kelompok-kelompok tersebut mulai membuat tumpeng dengan penuh kreativitas. Kelompok dengan waktu tercepat dan tumpeng yang paling indah akan menjadi pemenangnya.

Selain mengenalkan peserta tentang tradisi Saparan, kegiatan ini juga akan meningkatkan aspek relatedness & belongingness dalam diri siswa. Peserta yang terbagi dalam kelompok harus berkolaborasi dan berinteraksi aktif untuk mencari bahan dan menyelesaikan berbagai challenge yang diberikan. Hal ini menciptakan ikatan emosional yang kuat di antara anggota kelompok, merangsang rasa kebersamaan, dan menguatkan hubungan sosial di dalam tim.

Ketika individu merasa diakui dan diterima oleh kelompoknya, perasaan keterikatan dengan komunitas dan kebersamaan otomatis menjadi semakin kuat. Dukungan sosial yang diberikan oleh anggota kelompok lainnya juga berkontribusi pada meningkatnya kebahagiaan secara psikologis. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang untuk mengembangkan rasa empati, saling mendukung, dan bekerja sama, yang merupakan nilai-nilai penting dalam membangun hubungan yang sehat dan harmonis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tumpeng hunt menjadi lebih dari sekadar permainan, melainkan menjadi sarana yang efektif untuk menggalang rasa kebersamaan, keterikatan, dan dukungan sosial di antara pesertanya, sesuai dengan prinsip-prinsip kebahagiaan eudaimonic.

Sementara itu, untuk siswa-siswi SD, salah satu kegiatan yang bisa dilaksanakan adalah lomba mewarnai gambar dengan tema yang terkait erat dengan tradisi Saparan. Untuk perlombaannya dapat disesuaikan dengan jenjang kelas. Gambar-gambar yang akan diwarnai harus mengandung nilai-nilai dan elemen-elemen khas dari tradisi Saparan, seperti gambar tumpeng yang melambangkan keberkahan dan kekayaan hasil bumi, keluarga yang sedang bersama-sama merayakan, aneka makanan khas Saparan, dan lain sebagainya. Melalui gambar- gambar yang diwarnai, siswa juga dapat memahami dengan lebih mendalam tentang tradisi dan makna yang terkandung dalam tradisi Saparan. Hal ini juga akan memberikan kesempatan bagi para orang tua dan keluarga siswa untuk ikut terlibat dalam menjaga keberlangsungan tradisi budaya ini melalui berbagai ide gambar, dan lain sebagainya.

Saat siswa-sisiwi SD terlibat dalam kegiatan mewarnai gambar dengan tema tradisi Saparan, mereka memiliki kesempatan untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan kreativitas mereka. Aktivitas ini memungkinkan mereka untuk mengejar minat dan bakat mereka dalam dunia seni, yang sesuai dengan kecenderungan dan jati diri unik mereka. Selama proses mewarnai, anak-anak dapat merasakan kepuasan dan kedamaian dalam menyalurkan imajinasi mereka, mencampur dan memadukan warna, serta membuat karya seni yang unik. Aktivitas ini memberikan perasaan pencapaian dan pemenuhan diri karena mereka dapat menghasilkan sesuatu yang indah dan bermakna bagi diri mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan prinsip kebahagiaan eudaimonic, di mana pemenuhan psikologis dan perkembangan pribadi menjadi fokus utama dalam mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan.

Satu hal yang perlu diingat adalah, perayaan ini dapat dilaksanakan pada beberapa jam kosong atau di waktu istirahat agar tidak mengganggu jadwal belajar dan kegiatan akademis lainnya. Dengan cara seperti ini, anak-anak tetap dapat merasakan kesenangan dan kebahagiaan dari perayaan Saparan ini, namun dalam konteks yang terkendali dan tetap mendukung proses belajar mereka. Dengan dikemas dalam bentuk yang menarik, kegiatan ini diharapkan juga tidak hanya menjadi momen hiburan semata, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran yang bermakna dan memberikan dampak positif dalam pembentukan konsep kebahagiaan eudaimonic siswa serta pengenalan budaya lokal.

Tradisi Saparan merupakan salah satu warisan kearifan lokal Indonesia yang kaya akan nilai-nilai kehidupan. Tradisi ini mengajarkan tentang rasa syukur yang selalu dipanjatkan bahkan dalam keadaan yang tidak memuaskan sekalipun. Sikap bersyukur ini membantu masyarakat untuk fokus pada hal-hal positif dalam hidup dan meningkatkan apresiasi terhadap momen-momen bahagia.

Selain itu, tradisi ini juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga rasa persaudaraan, meningkatkan rasa peduli dan dukungan antar sesama serta pelestarian budaya lokal. Oleh karena itu, upaya pelestarian tradisi Saparan menjadi tugas bersama antar masyarakat setempat yang ada dan juga kita sebagai penerus berikutnya untuk menjaga dan menghormati tradisi nenek moyang, sehingga warisan budaya ini dapat terus hidup dan memberikan inspirasi bagi generasi masa depan.

Daftar Pustaka

Emmons, R.A. (2007). Thanks! How the new science of gratitude can make you happier. New York: Houghton Mifflin Company.

Emmons, R.A., & Crumpler, C.A. (2000). Gratitude as a human strength: Appraising the evidence. Journal of Social and Clinical Psychology, 19, 56-69.

Ningsih, T. (2019). Tradisi saparan dalam budaya masyarakat jawa di Lumajang. Ibda: Jurnal Kajian Islam dan Budaya, 17(1), 79-93.

Prabowo, A. (2017). Gratitude dan psychological wellbeing pada remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 5(2), 260-270.

Seligman, M.E.P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. New York: Free Press.

Steger, M.F., Kashdan, T.B., & Oishi, S. (2007). Being good by doing good: Daily eudaimonic activity and well-being. Journal of Research in Personality, 42(2008), 22 – 42.

Waterman, A. S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrasts of personal expressiveness eudaimonia and hedonic enjoyment. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 678–691.