Pemikiran mereka menampilkan suatu penolakan tentang esensi, feeling, dan sebab-sebab “dalam” yang tak dapat diukur. Verifikasi empiris merupakan hal utama dalam metodologi behavioris.
Oleh Velia Inka Tamara, Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling FKIP UKSW Salatiga
Sebuah aliran utama dalam pendidikan semenjak pertengahan abad ini adalah behaviorisme. Behaviorisme dalam salah satu pengertiannya adalah suatu teori psikologis, namun dalam pengertian lain ia telah “membongkar” batas-batas perhatian psikologi tradisional dan mengembangkan suatu teori kependidikan yang menyentak. Sebagaian sebuah pendekatan kependidikan ia mendapatkan pengakuan di kalangan ilmuwan modern yang menghargai metodologi ilmiah dan “objektivitas”, dan juga kelompok terbatas dari komunitas bisnis yang mementingkan hasil-hasil yang langsung dan kelihatan, efisiensi serta keekonomisan.
Behaviorisme mempunyai beragam akar ideologis. Salah satunya adalah realisme filosofis. Dengan realisme, behaviorisme memusatkan perhatian pada hukum-hukum alam. Umat manusia dari sudut pandang behavioristik adalah bagian dari alam, dan karenanya, berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam. Realitas bagi behavioristik tidak tergantung pada manusia yang mengetahui. Tugas kalangan behavioris adalah mengamati organisme yang hidup, termasuk manusia, dalam rangka mengungkap hukum-hukum tingkah laku. Setelah hukum-hukum tingkah laku ini diungkap, maka akan tersedia sebuah landasan bagi teknologi tingkah laku.
Akar behaviorisme yang kedua adalah positivisme. Titik tolak kalangan positivis adalah pada apa yang Auguste Comte (1798-1857) jelaskan sebagai pengetahuan “positif”. Comte membagi sejarah umat manusia menjadi tiga tahapan, masing-masingnya ditandai oleh adanya cara berpikir yang berbeda.
Tahapan yang paling primitif adalah tahapan teologis di mana segala sesuatu dijelaskan dengan merujuk pada hal-hal rohaniah dan “kedewaan”. Tahapan tengah adalah metafisik di mana segala kejadian diterangkan dengan esensi-esensi, sebab-sebab, dan prinsip-prinsip “dalam”. Tahapan tertinggi adalah positif. Pada tahapan terakhir ini manusia tidak lagi berupaya melampaui fakta-fakta di luar yang bisa diamati dan diukur. Comte berusaha mengembangkan sebuah masyarakat ilmiah, dan kalangan behavioris berdiri tegak di atas landasan Comte. Pemikiran mereka menampilkan suatu penolakan tentang esensi, feeling, dan sebab-sebab “dalam” yang tak dapat diukur. Verifikasi empiris merupakan hal utama dalam metodologi behavioris.
Akar historis ketiga dari behaviorisme adalah materialisme. Materialisme, pada intinya, adalah teori yang menegaskan bahwa realitas kiranya dapat dijelaskan dengan hukum-hukum materi (benda) dan gerak. Ia merupakan wujud penolakan tegas terhadap kepercayaan-kepercayaan tentang jiwa, roh, dan kesadaran. Hal-hal ini dianggap sebagai warisan abad prailmiah.
Ivan Pavlov (1849-1936), ahli psikologi Rusia, meletakkan suatu tahapan penting bagi psikologi behavioris lewat kajiannya tentang reaksi refleks. Pavlov menuliskan bahwa ia dapat mengondisikan anjing-anjing keluar air liur dengan membunyikan sebuah bel, jika anjing tadi sebelumnya telah dilatih untuk menghubungkan suatu bel dengan tersedianya makanan.
Bapak behaviorisme modern, John B. Watson (1878-1958), senada dengan Pavlov, menegaskan bahwa tingkah laku manusia adalah sesuatu dari refleks-refleks yang terkondisikan. Watson berpendapat bahwa psikologi harus berhenti mengkaji apa yang dilakukan manusia. Menurut Watson, lingkungan adalah penentu utama tingkah laku. Ia berpendapat bahwa jika lingkungan anak dapat dikontrol, maka ia akan bisa merancang anak tadi menjadi sosok apa pun yang diinginkan.
Orang yang paling berpengaruh dari kalangan behavioris adalah B.F. Skinner. Karya Skinner berada pada garda depan perjuangan behaviorisme dalam pendidikan yang meliputi lingkup semisal modifikasi tingkah laku, mesin pengajaran, dan belajar terprogram. Beberapa karya berpengaruh Skinner adalah Science and Human Behavior (1953), Beyond Freedom and Dignity (1971) dan Walden Two (1948). Kiranya novel utopisnya tentang masyarakat yang direkayasa secara tingkah laku, Walden Two, telah menjadikan ide pemikirannya terpublikasikan secara luas. Skinner berada pada pusat kontroversi karena ia mengabaikan kebebasan dan kemuliaan (dignity) yang secara tradisional diakui ada pada umat manusia, dan cenderung berpendapat bahwa beberapa individu harus memutuskan bagaimana orang-orang lain akan dikondisikan.
Karena kritik-kritiknya, hal ini mencuatkan pandangan-pandangan mengejutkan George Orwell pada tahunn 1984. Skinner mencatat bahwa kita dikondisikan oleh lingkungan, dan kiranya lebih bermakna manakala digunakan hukum-hukum teknologi tingkah laku untuk mengondisikan orang sedemikian rupa dalam rangka memaksimalkan kesempatan-kesempatan survive manusia di era kompleksitas teknologi daripada membiarkan hukum-hukum itu berjalan acak.
Kiranya jelas dari uraian singkat tentang dasar-dasar behaviorisme tersebut bahwa ia amat lekat dengan anggapan-anggapan pokok sains kealaman. Kalangan behavioris berkeinginan mengembangkan “sains” kemanusiaan. “Sungguh, behaviorisme,” tulis Skinner, “bukanlah sains tingkah laku manusia; (akan tetapi) ia adalah filsafat sains tadi.” Pernyataan Skinner ini menggarisbawahi kenyataan bahwa tidak ada sains apa pun tanpa asumsi-asumsi filosofis asumsi-asumsi yang membentuk dan membatasi penemuan-penemuan potensialnya. Karena demikian masalahnya, sangatlah perlu para pendidik menyadari berbagai asumsi yang ada di balik teori apa pun sebelum mereka berupaya menerapkan teori-teori itu dalam pelaksanaan profesi.
Prinsip-prinsip behavioristik
Manusia adalah sebuah binatang yang berkembang tinggi dan ia belajar sebagaimana binatang-binatang lainnya belajar
Bagi kalangan behavioris, manusia tidak dapat berada melampaui dan di luar alam. Manusia bukanlah makhluk yang berada dalam suatu tingkatan dan kelompok tersendiri; manusia lebih sebagai bagian tak terpisahkan dari alam. Menurut Skinner, “sebuah bagian kecil alam semesta diisi dengan badan masing-masing kita. Tiada alasan mengapa ia harus memiliki status khusus secara fisik karena berada dalam lingkup batas alam semesta ini.” Manusia tidak mempunyai kemuliaan dan kebebasan khusus. Kiranya benar bahwa manusia adalah sebuah organisme alamiah yang kompleks, akan tetapi ia tetaplah sebagai bagian pokok dunia binatang. Behaviorisme secara tanpa apologi berkembang perlahan dan pemikiran ini meletakkan kerangka kerja bagi kajian psikologinya.
Tugas psikologi tingkah laku adalah mempelajari hukum-hukum tingkah laku. Hukum-hukum ini sama bagi semua binatang. Oleh karena itu, seorang ilmuwan dapat menemukan berbagai hukum belajar manusia melalui pengkajian terhadap tingkah laku makhluk hidup yang kurang kompleks semisal tikus dan burung dara. Demikian halnya, para ilmuwan dapat menghasilkan berbagai teknik pengajaran lewat eksperimentasi terhadap beberapa binatang. Teknik-teknik ini bisa diterapkan untuk manusia.
Pendidikan adalah sebuah proses rekayasa tingkah laku
Dari perspektif behavioris, manusia dapat dirancang untuk berbuat dalam cara-cara tertentu melalui lingkungan. Mereka diberi ganjaran karena melakukan sesuatu dengan cara tertentu dan dikenai hukuman karena melakukannya dengan cara lain. Aktivitas-aktivitas yang menerima ganjaran cenderung diulang-ulang, sedangkan aktivitas-aktivitas yang menerima hukuman cenderung ditinggalkan. Proses pemberian ganjaran atau hukuman (proses penguatan) membentuk seseorang untuk bertingkah laku dalam cara-cara tertentu. Karena itu, tingkah laku dapat dibentuk dengan mempolakan “penguat-penguat” lingkungan. Tugas pendidikan adalah menciptakan lingkungan belajar yang mengarah pada tingkah laku yang diinginkan. Dengan demikian, sekolah dan institusi kependidikan lain dipandang sebagai cara dan sarana mendesain sebuah kultur.
Skinner dan kalangan behavioris lainnya menganggap bahwa pengondisian dan perencanaan lingkungan senantiasa menjadi bagian pendidikan dan sekolah. Apa yang mereka serukan adalah sebuah penggunaan secara sadar hukum-hukum belajar untuk mengontrol individu-individu sehingga kualitas hidup dan kesempatan bangkit berjaya akan meningkat.
Peran guru adalah menciptakan sebuah lingkungan belajar yang efektif
Skinner dan kalangan behavioris lainnya telah beberapa tahun menyarankan revisi menyeluruh terhadap praktik-praktik ruang kelas. Unsur pokok yang terabaikan di sebagian besar lingkungan-lingkungan sekolah, tutur Skinner, adalah penguatan (reinforcement) positif. Pendidikan tradisional cenderung menggunakan bentuk-bentuk yang tak disukai semisal hukuman badaniah, hardikan, tugas rumah yang memberatkan, kerja paksa, enggan memberikan penghargaan, dan ujian-ujian yang dirancang untuk menunjukkan apa yang tidak diketahui oleh siswa.
Sebagai konsekuensinya, siswa, jika ia tidak diberi penguatan secara positif, tentunya akan memilih cara-cara menghindarkan diri dari kondisi ruang kelas yang tidak menyenangkan, melalui gaya-gaya seperti mengigau, menjadi agresif atau bahkan keluar dari sekolah.
Pendapat Skinner adalah bahwa siswa-siswa itu belajar dalam kehidupan sehari-hari lewat akibat dan konsekuensi tindakan mereka. Tugas guru adalah menata suatu lingkungan belajar yang akan memberi penguatan positif terhadap tindakan-tindakan siswa yang diharapkan. Tindakan-tindakan yang tidak diberi ganjaran, dalam suatu lingkungan yang terkontrol, akan cenderung ditinggalkan dengan berlalunya waktu.
Harold Ozmon dan Sam Craver meringkaskan prosedur-prosedur dasar untuk modifikasi tingkah laku dalam ruang kelas biasa sebagai berikut:
- Menentukan hasil yang diharapkan, apa yang perlu diubah, dan bagaimana hal ini akan dievaluasi;
- Menetapkan sebuah lingkungan yang menyenangkan dengan menggeser ransangan yang tidak menyenangkan yang mungkin memperumit belajar;
- Memilih penguat-penguat (reinforcers) yang sesuai untuk tampilan-tampilan tingkah laku yang diharapkan;
- Mulai membentuk tingkah laku yang diharapkan dengan memanfaatkan penguat-penguat perantara untuk tingkah laku yang diharapkan;
- Jika setiap pola tingkah laku yang diharapkan dimulai, maka perlu mengurangi banyaknya penguat-penguat yang diberikan; dan
- Mengevaluasi hasil-hasil dan menaksir ulang untuk perkembangan yang akan datang.
Bisa dilihat dari ringkasan di atas bahwa tujuan-tujuan tingkah laku dan penggunaan penguat-penguat positif yang sesuai adalah hal inti bagi lingkungan belajar yang efektif sebagaimana ditawarkan oleh kalangan behavioris. Untuk membantu guru dalam (mengemban) tugas kompleks mempertahankan sebuah lingkungan yang sarat ganjaran, Skinner dan tokoh lainnya mengusulkan buku-buku ajar yang diprogram dan bahan-bahan lain yang memerinci materi ajar menjadi langkah-langkah kecil sehingga setiap siswa akan diberi ganjaran secara positif setelah ia merampungkan tiap-tiap langkah (tahap) dengan sukses. Pemberian penguatan (reinforcement) berjalan secara berulang-ulang karena langkah-langkah berkesinambungan dalam proses belajar adalah sekecil (sedetail) mungkin. Mesin-mesin pengajaran diusulkan oleh kalangan behavioris untuk membantu proses belajar berurutan ini.
Efisiensi, ekonomi, ketepatan, dan objektivitas merupakan pertimbangan-pertimbangan nilai inti dalam pendidikan
Nilai-nilai ini dikembangkan, baik oleh orientasi filosofis behaviorisme maupun oleh tujuan-tujuan komunitas bisnis, yang mana sekolah hidup berdampingan dalam budaya modern. Teknik-teknik tingkah laku telah diterapkan pada praktik-praktik bisnis, seperti sistem manajemen, periklanan, dan promosi penjualan dengan kesuksesan besar. Hal ini mendorong sebagian besar komunitas bisnis bergabung dengan kalangan psikologi behavioris alam menyeru sekolah-sekolah dan para tenaga pendidik untuk menjadi accountable (bertanggung jawab). Gerakan akuntabilitas berupaya menetapkan tanggung jawab hasil-hasil pengajaran apa yang dipelajari anak pada mereka yang menjalankan tugas pengajaran. Ini mendorong ketertarikan menerapkan teknik-teknik, tujuan-tujuan manajemen bisnis, dan pengukuran-pengukuran yang didasarkan pada penampilan (performance) dalam konteks sekolah.
Dirasakan oleh kritikus-kritikus behaviorisme bahwa pendekatan menyeluruh terhadap pendidikan ini dilandaskan pada sebuah pendapat simplistik tentang proses pendidikan, dan sebuah premis yang keliru yang menyamakan pelatihan dan manipulasi (rekayasa tingkah laku) dengan pendidikan. Mereka menegaskan bahwa apa yang mungkin sukses sebagai suatu teknik periklanan boleh jadi tidak efisien bagi pendidikan anak.
Pada tahun 1970 dunia Barat menyaksikan 2.500 tahun upaya-upaya periodik dalam reformasi pendidikan dan 150 tahun reformasi intensif setelah persekolahan tersedia bagi masyarakat luas. Tahun 1970 memperlihatkan sebuah usulan yang beranjak jauh melampaui reformasi pendidikan menuju “gelanggang” revolusi pendidikan. Gerakan ini diinisiasi publikasi Deschooling Society oleh Ivan Illich. Pendekatan Illich terhadap tatanan sosial secara mendasar adalah pendekatan antiinstitusionalisme dan antikemapanan. Ia menentang institusionalisme atau sesuatu (tanah) yang mengakibatkan monopolisasi pelayanan dan kesempatan, dan meletakkan jalur-jalur yang kaku dan mahal sebagai satu-satunya cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.
Illich melihat sistem sekolah sebagai “sarang” musuh bagi gagasannya tentang kehidupan yang nyaman (good life), karena sistem sekolah mengajarkan kepada semua generasi muda untuk menganggap model institusional (kelembagaan) sebagai hal ideal.
Dengan demikian, siswa “disekolahkan” untuk mengacaukan pengajaran dengan belajar, nilai hasil belajar dengan pendidikan, ijazah dengan kompetensi, dan kelancaran bicara dengan kemampuan mengatakan sesuatu yang baru. Imajinasinya “disekolahkan” untuk menerima bekerja dalam “ruang” nilai. Pengobatan medis disalahpahami sebagai perawatan kesehatan, kerja sosial sebagai pengembangan kehidupan komunitas (masyarakat), perlindungan polisi sebagai keselamatan, ketenangan militer sebagai keamanan bangsa, kesibukan yang tiada henti-hentinya sebagai kerja produktif.
Usulan deschooling menyerukan “pembubaran” sekolah dan pencabutan undang-undang wajib belajar. Dengan pendapat ini, Illich dan kawan-kawannya mengusulkan sebuah sistem kuitansi atau dana kuliah yang mana biaya pendidikan dihubungkan secara langsung dengan ahli waris yang akan menentukan bagaimana membelanjakan keuangannya dalam rangka usaha mendanai “jatah” pendidikan yang menjadi pilihannya.
Sebuah sistem pendidikan yang baik, menurut Illich, harus mempunyai tiga tujuan: ia harus memberikan kesempatan kepada semua yang ingin belajar untuk mendapatkan sumber-sumber yang tersedia kapan pun dalam kehidupan mereka; memberdayakan semua orang yang ingin membagi pengetahuan mereka untuk bisa mendapatkan orang-orang yang bermaksud belajar dari mereka; dan terakhir, menyuguhkan peluang kepada semua orang yang ingin menampilkan sebuah isu permasalahan agar bisa diketahui publik.
Untuk membantu orang-orang menjadi terdidik dalam sebuah masyarakat tanpa sekolah (a deschooled society), Illich mengusulkan apa yang disebutnya dengan “jaringan kerja pendidikan” yang akan menghubungkan para subjek didik dengan guru-guru, subjek didik-subjek didik lainnya dan sarana-sarana belajar. Ia menjadikan jaringan kerja pendidikan ini sebagai pelayanan rujukan untuk tujuan pendidikan, pertukaran keterampilan, belajar bersama, dan sebagai pelayanan rujukan untuk para pendidik pada umumnya.
Illich dan kawan-kawannya melihat usulan deschooling sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan pendidikan masyarakat dan ketidakadilan sosial. Kritik-kritik terhadap usulan ini cenderung menganggapnya sebagai corong mimpi dan Illich sebagai mistikus.
Perspektif
Teori-teori pendidikan yang dibicarakan pada bab ini berbeda dengan filsafat-filsafat yang dikaji pada bab III dan IV dalam arti bahwa teori-teori tadi lebih dirangsang oleh persoalan-persoalan riil pendidikan daripada oleh isu-isu kefilsafatan. Dengan demikian, para teoretikus tidak berbicara kepada kita dalam bahasa filsafat meskipun teori-teori mereka dibangun di atas kepercayaan-kepercayaan metafisis, epistemologis, dan aksiologis. Di antara fungsi mengkaji filsafat pendidikan adalah mempertebal kesadaran para pendidik berkaitan dengan asumsi-asumsi filosofis yang membingkai teori-teori pendidikan dan memberi sarana konseptual kepada para pendidik untuk mengevaluasi teori-teori itu.
Teori-teori pendidikan kontemporer telah mengubah bentuk pendidikan abad XX. Pada dataran teori-teori itulah pergulatan pendidikan berlangsung, baik dalam literatur maupun di sekolah-sekolah. Teori-teori tadi melahirkan eksperimentasi pendidikan yang meluas dan literatur yang ditujukan pada masyarakat luas dan kalangan profesional. Inti pergulatan di kalangan para teoretikus adalah pemikiran progresif. Alfred North Whitehead pernah menuliskan bahwa semua filsafat sebenarnya merupakan “komentar” terhadap Plato para filsuf baik yang dalam beberapa hal setuju dengan Plato ataupun yang menentangnya. Pernyataan serupa kiranya dapat dilontarkan berkaitan dengan teori-teori pendidikan di abad XX.
Progresivisme berperan sebagai perangsang dan katalisator baik terhadap kalangan yang setuju dan yang tidak setuju dengan anggapan-anggapan dasar dan praktik-praktik pendidikannya. Rangsangan ini telah mendorong formulasi teori-teori kontemporer dalam lingkup di mana perdebatan kependidikan telah membawa dunia akademik yang “terpisah” ke pers (liputan) publik. Isu-isu utama yang ditangani oleh para teoretikus yang sedemikian bersemangat dan antusias terhadap gagasan-gagasan dan eksperimentasi pendidikan diliput untuk publik pembaca dalam jangkauan luas.