Ini semacam solilokui, sejenis percakapan dengan diri sendiri. Seperti biasanya, kami di markas besar redaksi detakpasifik.com kami membagi diri dalam jalan tugas masing-masing.
Belakangan detakpasifik.com memilih mempublikasikan aneka artikel yang ditulis para mahasiswa Pascasarjana UKSW, Salatiga. Nama detakpasifik.com harum di Papua, juga di Jawa Tengah di lingkungan kampus dan mahasiswa.
Apalagi di musim ini. Terik mentari amat menyengatkan. Kami berlindung diri di pondok masing-masing sambil merajut tulisan sederhana demi pemuliaan manusia. Kami pun membaca banyak berita dari rupa-rupa media dengan jurnalisme aneka rupa warna sekenanya.
Bahkan kadang, demi melihat itu, kami berpikir, mungkin itu memang intensi pewarta hanya tulisan saja, sekadar coretan tumpukan kata yang tampak semacam kalimat, tetapi bukan sejenis berita mainstream.
Tak bedanya dengan membaca cuitan secuil ungkapan di media online lain yang sejenis warta itu. Tak pelak lagi kami memang terlatih menghindar diri untuk lekas percaya. Tetapi, detakpasifik.com tentu saja tidak begitu. Dan, tidak boleh begitu.
Media online detakpasifik.com adalah jembatan yang berhendak setia pada jurnalisme damai dengan pendekatan kritis. Kritis terhadap wacana, kritis pula terhadap kelayakan berita. Andaikan pun semua syarat jurnalisme terpenuhi, kami masih harus menimpa diri sendiri dengan beban pertanyaan, apakah patut sesuatu itu disiarkan, ataukah cukup disimpan di benak sebagai pengetahuan, siapa tahu sekali kelak menjadi background sebuah wacana.
Kami memandang manusia serta seluruh jagat nasibnya dengan tetap setiap menghormati keunikannya masing-masing. Karena itu, kami menaruh hormat semua dimensi manusia guna mencari dan mendalami apa yang paling mendasar dan paling menyeluruh di dalam dirinya.
Manusia tampaknya adalah makhluk paling lengkap paradoksal. Bahkan kontras. Manusia makhluk terbatas, tetapi selalu ingin membatasi sesuatu yang tak terbatas, seperti ingin membatasi Tuhan.
Manusia terbatas serentak terbuka bebas pada kenyataan yang tidak terbatas, kodrati serentak budayani, fisik serentak rohani. Individual sekaligus sosial. Makhluk kosmis, serentak historis.
Dalam pada itu kami memandang, memengerti apalagi menulis tentang interaksi lintas manusia, detakpasifik.com memilih menawarkan anggur jurnalisme damai serentak kritis. Artinya, tulisan menawarkan fakta, tetapi tidak melukai entah siapa, juga terbuka untuk menerima masukan yang menawarkan sikap kritis detail hingga ke kedalaman makna.
Beda pendapat bagi kami adalah hal biasa tak seharusnya dikuntik dengan rasa dengki. Kritik itu perlu karena itu tanda masih ada kehidupan yang berarti.
Aliran filsafat yang dihayati pengelola detakpasifik.com tentu saja memberi warna pada aneka gaya. Memang belum dipastikan persis, apakah detakpasifik.com gemar pikiran fenomenologis, ataukah eksistensial yang mencari makna melampaui yang tampak. Ataukah cenderung epikuris yang menikmati pemaknaan hidup melalui jalan hedonisme jamak wajah.
Seperti melihat manusia, apakah ucapan seseorang (politisi atau rakyat biasa) adalah ucapan manusia paradoks. Warna-warni paradoksal itu menggema ke mana-mana dan kita dapat menyaksikan setiap hari gejala demikian di sekitar lingkungan hidup kita.
Namun, detakpasifik.com dalam alunan sejarah membawa dirinya selalu untuk tidak gampang mengecam entah siapa. Media online detakpasifik.com terpanggil untuk selalu melihat dinamika manusia dalam konteks sebagai makhluk pengembara yang sedang mencari dan menemukan jati diri.
Baca juga:
Entahkah itu penguasa, pengusaha atau rakyat biasa. Pun politisi. Entahkah dia seorang bergelar doktor atau orang terpelajar berilmu banyak. Yang pasti di markas besar dapur redaksi detakpasifik.com selalu akan ada diskusi terbatas, tanpa membatasi tema yang berkelindan sangat banyak ditawarkan ke langit pemikiran kritis.
Untungnya, kru detakpasifik.com dihuni anak muda kritis. Pemred detakpasifik.com kadang lebih banyak merenungi aneka tulisan yang masuk ke meja medianya hingga penulis yang datang sekadar menawarkan gagasan kritis.
Begitulah kami, berdialog dengan diri kami sendiri. Solilokui.
Baca lainnya di sini