NTT  

Stunting Tinggi di NTT Tersebab Pola Asuh Anak Buruk Sekali

Diseminasi Survei Pola Asuh, Perspektif Gender, Sosial Budaya dan Stunting NTT. Foto/Ist.

Sering kali cara pikir makan asal kenyang atau asal ada makanan, tampak benar. Tetapi, pola asuh anak di rumah tangga masing-masing menjadi catatan sangat penting justru karena ujaran kebencian, kekerasan fisik sering dialami anak-anak NTT di rumah tangga mereka.

Kupang, detakpasifik.com – Kasus stunting tinggi di NTT tidak hanya tersebab gizi buruk. Tetapi, juga karena buruk sekali pola asuh anak di lingkungan keluarga. Survei di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, mengkonfirmasi fakta itu.

Diseminasi Survei Pola Asuh, Perspektif Gender, Sosial Budaya dan Stunting NTT, digelar Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi NTT, di Kantor Gubernur, 30 Oktober 2023 silam, menemukan fakta bahwa stunting di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang dominan disebabkan buruknya pola asuh dalam rumah tangga.

Tradisi kekerasan verbal dan kekerasan fisik dalam interaksi anak dan orangtua merupakan pola interaksi sosial yang buruk sekali. Pola asuh anak yang buruk itu, ikut menyumbangkan kasus stunting cukup tinggi dibandingkan dengan faktor gizi buruk.

Hal senada diungkapkan dua pencermat ahli. Dokter Grace Wangge, ahli dari Associate Professor in Public Health in Monash University Indonesia.  Begitu pun Dr. Yeheskiel A. Roen, S.S., M.Si dari departemen Sosiologi Universitas Nusa Cendana. Fasilitator diseminasi dr. Thresia Rallo. Moderator Pius Rengka. Hadir 50 peserta dari berbagai instansi terkait di pemerintah, masyarakat sipil dan para ilmuwan dari perguruan tinggi.

Survei terkait pola asuh ini terselenggara dengan baik berkat kerja sama Pemerintah NTT cq PPPA Provinsi NTT, AUSAID – Australia Award, dengan lembaga penelitian Unwira, Muhammadiyah dan Undana. Para peneliti, Didimus Dhosa, S.Fil., MPA, Irmina Veronika Uskono, S.Pd., M.Si, Yohanes Kornelius Ethelbert, S.Fil., MPA, Hikmah Haryati, S.H., M.H.

Perspektif kebijakan pemerintah yang diwakili Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, drg. Iien Andriany, M.Kes, menyebutkan bahwa fakta dan kebijakan intervensi pemerintah sudah sangat serius dikerjakan sejak lima tahun silam, meski dalam kondisi dan situasi anggaran negara terbatas karena krisis Covid-19. Tetapi ikhtiar memerangi stunting di NTT, masif dikerjakan. Kekuatan seluruh keluarga pun digalang.

Memang diakui, banyak elemen lain belum serius kolaboratif. Tetapi, spirit untuk mengubah NTT dari provinsi stunting telah mendorong banyak pihak bergerak. Pemerintah mengintervensi sejak pasangan nikah dan telah tumbuh janin dalam kandungan. Otak manusia tidak lagi berkembang di atas 5 tahun. Maka urus manusia bermutu tinggi itu fokus pada usia 0-5 tahun.

Menurut Kadis PPPA NTT, alumnus UGM ini, urus manusia bermutu itu dapat dianalogikan dengan membuat kue donat. Pembuatan kue donat itu membutuhkan banyak bahan. Jika bahan kurang, maka hasilnya meski tampak seperti donat tetapi bukan donat yang sesungguhnya. Begitu pun urus manusia. Ada banyak bahan yang diperlukan manusia usia 0-5 tahun agar pertumbuhan otaknya normal. Kita ingin manusia NTT berkualitas tinggi.

Target Gubernur Viktor Laiskodat lima tahun silam agar stunting nol persen itu sungguh tepat. Tetapi, target itu mengandaikan intervensi kolaborasi semua pihak beriringan dan akurat. Jika intervensi dimulai sejak bayi berusia 0-5 tahun, pastilah masa depan anak NTT baik sekali.

Setelah usia 0-5 tahun itu, kasus stunting sulit diatasi lagi. Menurut Dokter Iien, seharusnya intervensi tidak hanya mengalir dari pemerintah, tetapi juga intervensi dari semua sektor lain seperti komunitas pebisnis, masyarakat sipil dan politik. Di NTT, terbukti temuan survei, 50 % keluarga berisiko stunting. Karenanya strategi mengatasi stunting tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga semua pihak yang berkepentingan dengan kualitas manusia NTT di masa depan.

Apalagi, perspektif hak asasi manusia, anak berhak lahir tidak stunting. Karena itu, pola asuh yang buruk adalah pelanggaran hak asasi anak. Maka melanjutkan strategi gerakan sosial menangani stunting sangat diperlukan.

Pertumbuhan terhambat

Stunting adalah kondisi saat pertumbuhan fisik anak terhambat. Tinggi badan tidak mencapai potensi genetiknya. Stunting terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Dampak jangka panjang pada kesehatan, perkembangan, dan produktivitas mereka di masa dewasa.

Dalam konteks itu, mantan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat kerap menyebutkan, stunting menjadi problem sosial, bukan hanya lantaran fakta tinggi badan anak kurang, melainkan karena stunting menjadi isu krusial hak asasi manusia. Perkembangan otak anak menjadi fokus perjuangan hak asasi manusia NTT.

Stunting mengakibatkan masalah kesehatan serius, seperti sistem kekebalan tubuh yang lemah, masalah perkembangan otak, kerentanan terhadap penyakit infeksi, dan masalah nutrisi. Anak-anak stunting memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit kronis di masa dewasa. Stunting juga memengaruhi perkembangan kognitif dan mental anak. Akibatnya, kemampuan belajar, konsentrasi, dan prestasi akademis turun tajam.

Hal ini tentu saja sangat berdampak pada masa depan anak. Termasuk kemampuan mereka berpartisipasi dalam ekonomi dan masyarakat. Stunting sering kali terkait dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah. Anak-anak stunting cenderung tumbuh di lingkungan dengan akses terbatas terhadap makanan berkualitas, air bersih, sanitasi yang layak, dan layanan kesehatan. Ini menciptakan lingkaran kemiskinan dan ketidaksetaraan yang sulit diputuskan.

Dampak pada Pembangunan Nasional terkait dampak ekonomi yang signifikan. Anak-anak yang mengalami stunting lebih mungkin menjadi penduduk yang kurang produktif saat dewasa, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara.

Karena itulah, mengatasi stunting menjadi prioritas penting bagi banyak negara dan organisasi internasional karena dampak negatif yang luas dari masalah ini. Upaya pencegahan dan penanganan stunting melibatkan berbagai aspek, termasuk nutrisi yang baik, perawatan kesehatan yang berkualitas, sanitasi yang memadai, pendidikan, dan perubahan sosial-ekonomi yang lebih luas untuk mengurangi ketidaksetaraan dan kemiskinan.

Kasus stunting tersebab gizi buruk menyumbangkan 30 % melalui intervensi langsung, sedangkan 70 % lainnya disumbangkan oleh faktor tidak langsung antara lain pola asuh dalam keluarga. Karena itu, tidak mengherankan bila indeks kualitas keluarga di NTT, termasuk yang terendah kedua di seluruh Indonesia.

Meski demikian, ada kabar baiknya. Sejak 2018, NTT termasuk salah satu provinsi dengan progres penanganan stunting terbaik ke-6 di Indonesia. Artinya, fakta stunting memang buruk di NTT, tetapi intervensi pemerintah dan pihak lain telah melalui jalan yang tepat dan benar.

Tahun 2018, data eksisting stunting di NTT 42,6 %. Tetapi, 2023 stunting turun tajam, tersisa 15 %. Meski angka itu memperlihatkan NTT masih menjadi salah satu provinsi penyumbang terbesar stunting di Indonesia.

Sering kali cara pikir makan asal kenyang atau asal ada makanan, tampak benar. Tetapi, pola asuh anak di rumah tangga masing-masing menjadi catatan sangat penting justru karena ujaran kebencian, kekerasan fisik sering dialami anak-anak NTT di rumah tangga mereka.

Diseminasi survei ini menyerukan untuk segera menghentikan semua jenis pola asuh yang menawarkan kekerasan dalam rumah tangga. Termasuk kekerasan verbal, caci maki, ujaran kebencian. Apalagi kekerasan fisik, memukul, menempeleng menendang bahkan pembunuhan.

Memang, agak ironis. Ini provinsi diisi oleh penduduk over dosis berdoa. Tetapi, tidak sedikit dari mereka berkelakuan buruk. Mengiringi doa di tempat ibadah yang berjumlah banyak itu, tetapi tidak seiring dengan kelakuan harian di rumah tangga mereka. Itulah paradoks sosial.

Paradoks

Paradoks sosial adalah sebuah fenomena. Terdapat kontradiksi antara apa yang diharapkan dan diucapkan masyarakat atau norma sosial dengan apa yang nyata terjadi dalam praktiknya. Paradoks sosial mengungkapkan ketidakselarasan antara nilai-nilai atau keyakinan yang diyakini masyarakat dengan kenyataan yang senyatanya dibuat di dalam masyarakat. Contoh paradoks sosial yang terkenal untuk NTT adalah fakta kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan.

Paradoks terjadi justru di tengah bahwa wilayah NTT memiliki potensi ekonomi sangat besar. Laut NTT sangat kaya. Banyak menyimpan sumber daya protein, yang ketersediaannya sangat berlimpah. Destinasi pariwisata amat sangat kaya. Dapat mendulang devisa negara. Areal pertanian pun sangat luas dan bahkan kawanan ternaknya masih diandalkan sebagai gudang protein nasional. Tetapi apa daya. Pendapatan perkapita NTT sangat rendah.

Hal ini terjadi karena distribusi kekayaan tidak merata. Juga ketidaksetaraan dalam akses terhadap peluang, atau faktor-faktor lain yang memengaruhi pembagian kekayaan. Apalagi maaf, kelakuan dan kebijakan pemerintah lintas kabupaten tak seiring sejalan lantaran terlanjur bodoh tatkala kampanye politik demi meraih kursi kekuasaan. Para bupati satu daratan tak terbiasa bekerja sama dalam satu strategi perencanaan kawasan.

Paradoks serupa juga terjadi di bidang kesehatan. Terdapat ketidaksesuaian antara akses terhadap perawatan kesehatan yang canggih dan sumber daya medis yang melimpah dengan tingkat kesehatan yang rendah atau masalah kesehatan yang kronis dalam masyarakat. Hal ini disebabkan ketidaksetaraan akses ke layanan kesehatan, pola hidup tidak sehat, atau determinan sosial lainnya.

Di NTT kasus pengurusan akte kelahiran anak saja, masih rumit jika tidak diperumit. Anehnya, para aparatur tidak malu dan tidak bertobat. Rumit karena para petugas rajin sekali mendaraskan doa, tetapi seiring dengan itu kelakuan tidak lurus tuntas mengurus nasib manusia. Persis sebaliknya dengan doa yang kerap didaraskannya komat-kamit.

Rajin mengutip perikop kitab suci. Tetapi seiring dan selepas mengucapkan kutipan itu, mereka malas. Tidak sigap mengurus administrasi legal yang seharusnya menjadi tugas wajib aparatur negara. Karena rakyat telah membayar mereka untuk pekerjaan itu.

Karena itulah, stunting di NTT adalah gambaran paling konkret dari aneka jenis model relasi sosial yang timpang. Sosiolog Undana, Dr. Yeheskiel A. Roen, berujar, stunting adalah gambaran paling jelas dari betapa buruknya relasi sosial di NTT.

Sedemikian benar ketika dikatakan, bahwa manusia NTT di NTT itu selalu tidak setara antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan seharian. Tampak manusia NTT beragama kuat atau seolah-olah kuat, tetapi keluar dari ruang renung doa, kelakuan bar-bar.

Artinya, doa di tempat ibadah seolah terputus dengan dunia empiris di luar tempat ibadah. Tidak seiring berjalan kelakuan beragama dengan aksi dan kelakuan di tempat kerja. Benci dan dengki masih saja dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai amunisi politik. Penyakit ini masih menular di aparat birokrat.

Paradoks pendidikan pun setali tiga uang. Meski masyarakat berakses terbaik ke pendidikan berkualitas, tetapi masih menghadapi masalah tingkat kelulusan yang rendah atau kesenjangan pendidikan yang besar. Ini karena faktor-faktor seperti ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan, ketidaksetaraan akses, atau tantangan sosial lainnya.

Apalagi, terjadi politisasi penempatan guru dan relasi kepegawaian nan buruk. Itu semua memperparah kualitas relasi sosial di daerah ini. Paradoks kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender, tetapi terdapat ketidaksetaraan nyata dalam peluang, pembayaran, atau perwakilan gender dalam berbagai aspek kehidupan.

Maka, paradoks sosial sering kali menjadi isu penting dalam penelitian sosiologi dan ilmu sosial lainnya. Mereka memunculkan pertanyaan, mengapa ketidakselarasan semacam ini terjadi dan bagaimana mereka dapat diatasi.

Penyelesaian paradoks sosial sering melibatkan perubahan dalam norma sosial, kebijakan publik, atau tindakan sosial untuk mencapai keselarasan antara nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan praktik sehari-hari masyarakat.  

Bahkan Om Benny Benu, salah satu peneliti senior di BKKBN NTT, menyebutkan salah satu jenis stereotipe di kalangan masyarakat NTT yang masih kuat berlaku ialah pola asuh laki-laki relatif lebih baik dibanding perempuan.

Benny Benu melontarkan kritik tajam. Dia menyebutkan, sesungguhnya temuan survei pola asuh tidak memperlihatkan korelasi tingkat pendidikan orangtua dengan anak stunting.

Tim survei menyimpulkan, meski cara berpikir telah berubah, tetapi realitas miskin mencegah hasrat untuk melenyapkan stunting di daerah ini. Artinya, kemiskinan itulah yang menjadi awal mula semua ceritera susah di daerah ini.

 

(dp/pr)