Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi.
Oleh Fransiskus Saptono, Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling FKIP UKSW Salatiga
Tahun 1930-an adalah sebuah dekade krisis. Depresi dunia yang meluas telah melumpuhkan bangsa-bangsa kapitalis secara ekonomi, totalitarianisme telah bangkit di Eropa dan Asia, dan gejolak sosial adalah sebuah fenomena yang mencolok di Amerika. Bagi beberapa pengamat di Amerika, hal itu menunjukkan bahwa demokrasi itu sendiri tampaknya berada pada detik terakhir.
Para pengamat ini pun mencatat bahwa depresi tahun 1930-an tidaklah sebuah persoalan kekurangan pangan atau kebutuhan material. Bahkan terjadi kelimpahan hal-hal tadi. Depresi tersebut digambarkan secara tepat sebagai sebuah kelaparan di tengah kemakmuran. Persoalan bangsa Amerika lebih terpusat pada pendistribusian kekayaan dan bahan makanan daripada pemroduksiannya. Pada awal dekade tiga puluhan, sektor bisnis sebagian lumpuh dan para politikus tampak tidak sanggup menghadapi bencana ekonomi yang meluas ini.
Dalam konteks semacam itu George S. Counts mengembangkan sebuah pendekatan yang ‘meriah’ terhadap pendidikan lewat pidato-pidato provokatif yang pada tahun 1932 diterbitkan dengan tajuk Dare the School Build a New Social Order? (Beranikah Sekolah Membangun Sebuah Tatanan Sosial Baru?). Counts mengajak para pendidik untuk membuang mentalitas budak mereka, agar secara hati-hati menggapai kekuatan dan kemudian berjuang membentuk sebuah tatanan sosial baru yang didasarkan pada sistem ekonomi kolektif dan prinsip-prinsip politik demokratis. Ia menyeru kalangan profesional pendidikan untuk mengorganisir diri dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) dan menggunakan kekuatan terorganisir mereka untuk kepentingan-kepentingan masyarakat luas.
Kecenderungan pemikiran tersebut memunculkan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah dari sebagai pengalih budaya yang bersifat pasif menuju ke sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif. Dekade 1930-an menampilkan sekelompok orang yang terkenal sebagai “Pemikir Terkemuka” berada di sekeliling Counts dan Harold Rugg di Universitas Columbia. Ide-gagasan mereka secara luas mencakup aspek-aspek sosial dari pemikiran progresif Dewey. Landasan filosofis rekonstruksionisme memang pada pragmatisme.
Periode pascaperang dunia memperlihatkan munculnya suatu arah baru pada rekonstruksionisme melalui karya Theodore Brameld.
Prinsip-prinsip rekonstruksionisme
Persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi (penyebaran) kekayaan, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan penggunaan teknologi yang ‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab telah mengancam dunia kita sekarang dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi sesegera mungkin. Persoalan-persoalan tadi, menurut kalangan rekonstruksionis, berjalan seiring dengan tantangan totalitarianisme modern, (yakni) hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk dunia. Singkatnya, dunia sedang menghadapi persoalan-persoalan sosial, militer dan ekonomi pada skala yang tak terbayangkan. Persoalan-persoalan yang dihadapi itu sudah sedemikian beratnya sehingga tidak bisa lagi diabaikan.
Mengingat persoalan-persoalannya bersifat mendunia, maka solusinya pun harus demikian. Kerja sama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah sistem nilai dan mentalitas politik yang dianut di era kuda dan andong.
Menurut rekonstruksionisme, umat manusia sekarang hidup dalam masyarakat dunia yang mana kemampuan teknologinya dapat membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua orang. Dalam masyarakat ini, sangat mungkin muncul ‘pengkhayal’ karena komunitas internasional secara bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan kekayaan material menuju ke tingkat di mana kebutuhan dan kepentingan manusia dianggap paling penting. Dalam dunia semacam itu, orang-orang lalu berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.
Sekolah-sekolah yang merefleksikan nilai-nilai sosial dominan, tutur rekonstruksionis, hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang ini mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.
Kritik-kritik rekonstruksi sosial menandaskan bahwa Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai instrumen utama perubahan sosial. Komentar kalangan rekonstruksionis bahwa satu-satunya alternatif bagi rekonstruksi sosial adalah kekacauan global dan kemusnahan menyeluruh peradaban manusia. Dari perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau instrumen untuk membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.
Kalangan rekonstruksionis (di satu sisi) tidak memandang sekolah sebagai memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial seorang diri. Di sisi lain, mereka melihat sekolah sebagai agen kekuatan utama yang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena ia ‘menyantuni’ anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian, ia dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agitator utama perubahan sosial.
Kalangan rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya, tidaklah tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dari perspektif mereka, adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di antara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
Brameld menggunakan istilah “pemihakan defensif” untuk mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item kurikuler yang kontroversial. Dalam menyikapi hal ini, guru membolehkan uji pembuktian terbuka yang setuju dan tidak setuju dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru jangan menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mau mengungkapkan dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Di luar ini, guru harus berupaya agar pendirian-pendiriannya diterima dalam skala seluas mungkin.
Tampaknya telah diasumsikan oleh kalangan rekonstruksionis bahwa persoalan-persoalan itu sedemikian clear-cut (jelas-tegas) sehingga sebagian besar akan setuju terhadap persoalan-persoalan dan solusi-solusi jika dialog bebas dan demokratis diizinkan. Beberapa pengamat memberikan catatan bahwa rekonstruksionisme mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia – sesuatu yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai seluruh kepercayaan utopis.
Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika peserta didik dibuat berani untuk mempertanyakan status quo dan untuk mengkaji isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik, dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu para peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.
Ilmu-ilmu sosial, semisal antropologi, ekonomi, sosiologi, sains politik, dan psikologi merupakan landasan kurikuler yang amat membantu kalangan rekonstruksionis untuk mengidentifikasi lingkup persoalan utama kontroversi, konflik, dan inkonsistensi. Peran pendidikan adalah mengungkapkan lingkup persoalan budaya manusia dan membangun kesepakatan seluas mungkin tentang tujuan-tujuan pokok yang akan menata umat manusia dalam tatanan budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut rekonstruksionisme, haruslah “berada di bawah kontrol mayoritas warga masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan nasib mereka sendiri.
Futurisme dan kaitannya dengan rekonstruksionisme
Pada tahun 1970, Alvin Toffler, dalam menanggapi ledakan pengetahuan dan teknologi yang amat cepat, mencuatkan dimensi baru teori pendidikan dalam karya terlarisnya Future Shock. “Apa yang dilakukan pendidikan hari ini, sungguh pun di sekolah-sekolah terbaik kita,” tutur Toffler, “adalah sebuah anakronisme yang tanpa harapan.” Sekolah-sekolah kita berjalan atas serangkaian praktis dan asumsi yang dikembangkan pada era industri, sedangkan masyarakat telah memasuki abad superindustri. Akibatnya, sekolah-sekolah kita mendidik generasi muda dengan penekanan pada masa lalu, sementara kita hidup dalam tatanan dunia yang berubah cepat dan terus-menerus.
Toffler berpendapat bahwa:
Sekolah-sekolah kita lebih sibuk mengurusi sebuah sistem yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh. Energi besarnya dipergunakan untuk mencetak ‘manusia industrial’, yaitu manusia yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang akan mati sebelum mereka eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa yang akan datang, kita harus menciptakan sebuah sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan dan metode-metode di masa akan datang, bukan justru di masa lalu.
Toffler menegaskan perlunya sistem pendidikan “melahirkan bayangan-bayangan masa depan yang berangkaian dan alternatif” sehingga peserta didik dan guru memiliki sesuatu untuk mengarahkan perhatian mereka dalam aktivitas pendidikan. Para peserta didik perlu menguji masa depan yang disukai dan yang mungkin bersamaan dengan mereka mengkaji masa depan masyarakat manusia, dan mengembangkan kecakapan yang akan membimbingnya dengan penuh harapan ke masa depan yang diinginkan.
Kalangan futuris, tidak seperti kalangan rekonstruksionis, tidak mengklaim bahwa sekolah-sekolah itu dapat secara langsung mengawali perubahan sosial. Tujuan kalangan futuris adalah membantu menyiapkan warga untuk merespons perubahan dan membuat pilihan-pilihan cerdas mengingat umat manusia bergerak ke masa depan yang mempunyai lebih dari satu kemungkinan konfigurasi. Untuk melakukan ini, kalangan futuris, sebagaimana kalangan rekonstruksionis, menguji secara kritis tatanan ekonomi, politik, dan sosial yang berkembang. Harold Shane telah menguraikan secara garis besar kurikulum kalangan futuris yang menyorot ketidakadilan, kontradiksi, dan problem yang terjadi pada tatanan dunia sekarang.
Tekanan kurikuler dan aktivitas pendidikan yang ia lontarkan mirip dengan apa yang dicanangkan oleh kalangan rekonstruksionis, dan akibat dari kedua sistem ini secara garis besar akan sama, yaitu mengembangkan “masa depan yang lebih menyenangkan” melalui pendidikan. Dari perspektif ini, futurisme dapat dilihat sebagai perluasan dan modifikasi rekonstruksionisme.