Pendidik Zaman Now “Mengajar Yes, Mendidik No”

Ludviana Septentriwati/Dokpri.

Membangun karakter bangsa dimulai dari bangku sekolah.

Oleh Ludviana Septentriwati, Mahasiswa PPG Prajabatan BK FKIP UKSW Salatiga

Pendidik adalah aktor utama dari berlangsungnya pendidikan dan pengajaran. Pendidik sebagai sumber pengetahuan sedangkan peserta didik sangat tergantung pada kemampuan pendidik dalam hal transfer of knowledge dan transfer of science. Top down istilahnya. Bila pendidik tidak cakap membagi ilmu yang terjadi adalah peserta didik akan plonga-plongo dengan kemampuan terbatas dalam ilmu. Jika pendidik hebat mengajar maka murid akan dapat bekal berharga untuk masa depan. Pendidik adalah wakil orangtua di sekolah segala tindak tanduknya dipantau pendidik. Karena pendidik adalah orangtua maka pendidik berhak untuk menegur, memarahi bahkan menampar atau memukul peserta didik kalau kelewatan.

Sebuah pembelajaran hidup kadang harus dilakukan dengan berbagai cara. Kalau teguran halus tidak mempan ada kalanya peserta didik harus diberi shock therapy agar kapok dan tidak mengulangi kenakalannya lagi. Toh banyak pengalaman mengatakan pendidik yang galak dan sering telengas pada peserta didiknya karena ketegasannya malah akhirnya sering diingat peserta didik.

Kekerasan tidak berarti melanggar HAM seperti yang sekarang sering menjadi senjata orangtua, aktivis pembela HAM anak, komisi perlindungan anak, dan pengacara. Namun permasalahannya apakah pendidik zaman now ini melakukan mengajar, dan mendidik?

Pendidik zaman now

Sebagai pendidik zaman now, bukan hanya untuk membuat para peserta didik itu mengerti pelajaran yang disampaikan, tetapi pendidik zaman now harus mampu memotivasi peserta didik. Bukan pendidik zaman now yang hanya bermodalkan buku paket di tangan saat proses pembelajaran. Pendidik yang memiliki cara mengajar yang kreatiflah yang dibutuhkan saat ini. Bukan pendidik yang hanya bisa mengupdate status tiap saat. Bahayanya lagi, status yang terupdate tidak mencerminkannya sebagai pendidik. Meski saat ini pendidik seperti itu cukup banyak.

Salah satu ciri pendidik zaman now ialah pemanfaatan media pembelajaran. Ini sangat penting, karena kepekaan siswa dalam menerima bahan pembelajaran saat ini semakin berat dengan semakin banyak unsur “penggoda” peserta didik. Karena itu, jika masih ada yang tidak pernah memanfaatkan media dalam proses pembelajaran, pendidik tersebut dapat dimasukkan dalam golongan “pendidik nekat”.

Pendidik zaman now bahkan tidak hanya piawai dalam memanfaatkan  media ajar tetapi juga mampu membuat kreativitas media itu sendiri. Seorang pendidik harus “pusing” bila peserta didiknya tidak memiliki kemajuan. Bukan menyalahkan materi yang kesulitan, maupun menganggap bahwa peserta didiknya yang bermasalah. Pendidik zaman now, harus menunjuk kedirinya sendiri sebagai kegagalan sehingga harus terus berusaha memperbaiki dirinya.

Pendidik zaman dulu dan sekarang

Pendidik zaman dulu masih bisa berleluasa mendidik, membentuk dan mengarahkan peserta didiknya. Sebagai orangtua di sekolah tentu pendidik harus bisa menanamkan karakter kuat, mendidik dengan tegas apabila peserta didik tersebut berkelakuan buruk.

Pendidikan bukan hanya masalah transfer pengetahuan dan ilmu, pendidikan juga membentuk watak, karakter dan perilaku peserta didik. Fungsi sekolah salah satunya adalah memperkenalkan peserta didiknya bahwa ia (peserta didik) adalah bagian dari masyarakat.

Perbedaan karakter wajar tetapi peserta didik harus mampu menghargai perbedaan itu sebagai bagian dari perilaku sosial. Selain membuat pintar dan cerdas, sekolah adalah mendidik peserta didik menjadi bagian dari masyarakat yang harus bisa bekerja sama dan bisa bertoleransi terhadap peserta didik lainnya.

Sejak zaman dahulu persoalan peserta didik dan pendidik selalu ada. Ada yang bandel, suka membolos, berkelahi, membentuk geng, dan suka melawan pendidik. Tetapi dengan kewenangan pendidik yang besar tanpa banyak campur tangan keluarga dan pihak luar persoalan tidak serumit sekarang ini.

Permasalahan sekolah diselesaikan di sekolah. Peserta didik sebagai anak harus mendapatkan hukuman setimpal jika melakukan kesalahan. Kekerasan mungkin hanyalah salah satu bumbu jika tekanan persoalan benar-benar luar biasa dan pendidik perlu melakukan kekerasan fisik supaya kapok, tidak lebih.

Namun, pada zaman sekarang, pendidik tidak bisa mengajar serta mendidik peserta didik seperti zaman dulu lagi, karena sedikit saja pendidik melakukan tindakan tegas untuk “mendidik” akan berujung rumit dikarenakan adanya campur tangan dari pihak luar sekolah yaitu “orangtua”. Di zaman sekarang peserta didik telah dimanjakan oleh teknologi sehingga ilmu kesopanan itu lambat-laun menghilang, dan pola mengajar seorang tenaga pendidik pun lambat-laun ikut berubah dan lebih memfokuskan kepada cara mengajar peserta didik dibandingkan cara mengajar dan mendidik peserta didik untuk memiliki karakter yang bertanggung jawab, disiplin, dsb. Dikarenakan orangtua zaman now, kadang sering mengecilkan peran guru untuk membentuk watak dan karakter siswa.

Apalagi jika persoalannya lumayan berat orangtua membawa pengacara, lembaga perlindungan anak dan media sosial yang membuat guru tidak leluasa melakukan pendidikan dan pengajaran. Salah sedikit, masalah antara guru dan siswa diekspos di media sosial. Jika sudah viral maka guru seperti menjadi pesakitan karena mendapat kecaman, bahan olok-olok dan kadang sampai ke ranah hukum, dijebloskan ke penjara gara-gara hanya mencubit dan menyentuh anak sedikit. Sehingga ini juga menjadi dilema bagi pendidik di zaman now.

Fungsi guru sekarang lebih sebagai fasilitator, polisi siswa masalah perilaku, mengorganisir siswa, dan membantu siswa mengelola emosi. Masalah ilmu dan pengetahuan guru harus bisa berpolitik sebab jika mengandalkan pengetahuan guru sering kali kalah update dengan siwa.

Rumus matematika pun bisa jadi siswa duluan yang menemukan karena bantuan teknologi canggih. Lagi pula generasi milenial sekarang ini mudah memahami dan menguasai teknologi baru.

Generasi X, apalagi generasi Baby Boomer harus bekerja keras untuk mencoba memahami teknologi era 4.0 dan 5.0 yang super canggih.

Pendidik mengubah cara mengajar

“Sistem belajar kelas maya selaras dengan konsep student centered learning (SCL),” kata Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gogot Suparwoto (Kompas, Sabtu, 16 Februari 2019).

Pendidik menghadapi peserta didik yang susah diatur, ketergantungan pada teknologi, sopan santun yang kurang, karakter yang lemah menghadapi persoalan yang rumit, gizi anak yang cenderung pengkonsumsi makanan instan, fisik yang gampang sakit dan tulang rapuh akibat makanan yang kurang mengandung protein, kalsium, jarang berjemur di matahari, lebih sibuk main game online, dan beban belajar yang bejibun.

Kurikulum 2013 yang lebih menempatkan pendidik sebagai fasilitator, membuat pendidik harus mampu menjadi moderator bagi upaya peserta didik mencerap pengetahuan.

Pendidik menyediakan ruang, agar peserta didik bisa berdiskusi, mencari sumber belajar sendiri dengan searching, memberi rangsangan kreativitas dengan menayangkan video-video yang berhubungan dengan mata pelajaran dan mengarahkan peserta didik belajar mandiri. Dengan majunya teknologi pendidik harus bisa memecahkan persoalan peserta didik yang ketagihan gawai. Peserta didik lebih terpana, terpesona, tersedot perhatiannya pada game-game baru seperti Mobile Legend, Free Fire, PUBG Mobile yang lebih menarik dan menantang daripada membahas pelajaran.

Ketika peserta didik sudah masuk jaringan game susah memberitahu dan menasihati pola tingkahnya sehingga pendidik seperti terabaikan. Akhir-akhir ini dalam pantauan media banyak peserta didik bertingkah aneh dengan menantang pendidik, membetot baju pendidik karena peserta didik merasa gagah dan tidak mau ditegur pendidik. Pendidik juga bingung harus dengan cara apa menghadapi peserta didik yang bandel dan tidak mau diatur. Kalau dulu pendidik dengan leluasa bisa menampar dan memukul, dilema pendidik sekarang adalah tidak boleh main tangan dan melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik.

Pendidik menjadi frustasi karena sebagai pendidik harga dirinya jatuh di mata peserta didik. Banyak pendidik akhirnya cuek dan masa bodoh. Mereka hanya berpikir yang penting sudah mengajar, masa bodoh dengan tingkah laku anak.

Perlu pengertian antara pendidik, orangtua, dan masyarakat

Inilah yang harus dipikirkan bersama oleh pendidik, orangtua, masyarakat, peserta, pejabat pembuat kebijakan harus duduk bersama mengatasi permasalahan pendidikan yang semakin rumit ini: cerita-cerita viral tentang kelakuan pendidik, tentang peserta didik yang keterlaluan berani menantang pendidik, pelecehan-pelecehan yang diekspos dan membuat pendidik terpojok, serta campur tangan terlalu dalam orangtua peserta didik hingga harus melibatkan pengacara, dan aparat hukum.

Dengan saling berdialog diharapkan ada pemisahan kewenangan. Sehingga orangtua dan pendidik bisa saling bersinergi. Orangtua juga berperan aktif mendidik peserta didik di rumah dan di lingkungan di luar sekolah.

Pendidik diberi ruang luas sebagai wakil orangtua di sekolah menerapkan disiplin dan membentuk karakter peserta didik secara total. Sekarang antara orangtua dan pendidik kadang sering mispersepsi.

Ada banyak orangtua yang protektif sehingga terlalu banyak campur tangan urusan peserta didik di sekolah, sebaliknya kadang guru juga melebihi kewenangan orangtua dalam memberi tugas dan beban berat pelajaran kepada peserta didiknya sehingga kesempatan peserta didik untuk menikmati kebersaman dengan orangtua berkurang. Sekolah adalah tempat peserta didik membentuk karakter dan menimba ilmu demi kemajuan generasi masa depan.

Jika sekolah tidak bisa diharapkan membentuk kepribadian, karakter dan pengetahuan generasi mendatang maka redup dan gelaplah harapan negara. Membangun karakter bangsa dimulai dari bangku sekolah.

Ludviana Septentriwati, Mahasiswa PPG Prajabatan BK FKIP UKSW Salatiga. Tinggal di Suruh, Kabupaten Semarang