Peduli Krisis Kemanusiaan di Rumah Sahabat, tetapi Mengabaikan Duka dan Kecemasan Anak Sendiri

Lukas Lile Masan.

Kekerasan demi kekerasan terjadi di Papua dan dialami oleh Orang Asli Papua dari masa ke masa menyisakan pedih dan pilu di hati yang semakin terluka.

Oleh Lukas Lile Masan

Tulisan ini lahir dari refleksi atas beberapa sikap tokoh Indonesia Seperti Soleman Ponto dan Connei Rahakundini Bakrie yang mempersoalkan sikap ngebet pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap masalah Palestina. Tanggal 9 November 2023 kemarin, sejumlah tokoh bangsa menyerukan perdamaian untuk Papua.

Berdasarkan beragam tutur yang diungkapkan para tokoh antara lain Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, unsur dari PGI dan KWI, Uskup Jayapura, unsur ormas Muhammadiyah dan NU dapat diasumsikan bahwa bangsa ini begitu peduli terhadap krisis kemanusiaan global termasuk di Ukraina dan Palestina. Namun lupa melihat krisis kemanusiaan di halaman rumah sendiri yakni Papua.

Para tokoh mengungkapkan bahwa sejumlah persoalan terus menodai tanah Papua, antara lain konflik bersenjata, pelanggaran HAM, kerusakan alam, kepunahan satwa langka dan penderitaan berupa pengungsian serta kelaparan akibat konflik.

Tanah Papua yang dijuluki sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi bukan lagi menjadi Firdaus bagi hidup dan bereksistensinya Orang Asli Papua ras Melanesia tetapi berubah menjadi ‘neraka’ bagi mereka. Bahwa sejak aneksasi Papua di zaman Soekarno menyisakan masalah kemanusiaan yang sulit untuk diatasi.

Negara sepertinya hanya menginginkan tanah Papua dan isi alamnya lantas tak peduli dengan kehidupan dan masa depan Orang Asli Papua pemilik sah bumi Cenderawasih. Kekerasan demi kekerasan terjadi di Papua dan dialami oleh Orang Asli Papua dari masa ke masa menyisakan pedih dan pilu di hati yang semakin terluka.

Giat teori daerah operasi militer yang digagas Soeharto untuk membungkam suara protes putra-putri Papua yang tak sudi membiarkan rahim buminya yang kaya mineral dikoyak dan dikuras, tidak memadamkan jiwa pemberontak tetapi justru menumbuhkan semangat perjuangan.

Awal mula kebijakan eksploitasi sumber daya mineral berupa emas dan tembaga di gunung emas Ertsberg dan Grasberg telah membawa banyak korban di kalangan masyarakat lokal Suku Amungme dan Kamoro. Masyarakat sekitar lokasi pertambangan dipaksa meninggalkan kampung halamannya dalam sebuah operasi senyap yang melahirkan rasa takut dan cemas warga. Demi kenyamanan dan keselamatan nyawa, masyarakat harus meninggalkan kampung halamannya serta semua sumber daya alam yang mereka miliki untuk mencari aman.

Papua bukan tanah kosong. Papua juga tak miskin akan sumber daya alam. Namun Papua masuk dalam kategori wilayah paling miskin di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apa sebab? Bahwasannya faktor utama kemiskinan yang terjadi di Papua adalah karena kebijakan yang tidak populis oleh pemerintahan masa lalu terutama pemerintahan Orde Baru. Rezim Soeharto menjadi pihak yang paling besar memiliki andil menciptakan kemiskinan di tanah Papua.  Papua dikorek dan diambil isinya lalu dibawa ke Jakarta. Inilah fakta yang terjadi di rezim Soeharto. Soeharto tak peduli akan nasib dan masa depan kehidupan Orang Asli Papua.

Pola Soeharto dalam menangani masalah Papua di zaman Orde Baru masih kuat dianut pemerintahan zaman sekarang kendati ada yang berubah. Perubahannya adalah dari sisi pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia. Namun dari aspek menyelesaikan konflik atau masalah Papua, pemerintahan Jokowi masih saja menggunakan pola lama yakni pendekatan keamanan. Beragam seruan dari berbagai pihak agar diakhirinya konflik bersenjata di Papua dan membangun dialog damai.

Baca juga:

Dualisme Sikap Indonesia Menjelmakan Amanat Konstitusi

Bahkan LIPI dalam penelitian tentang konflik Papua menemukan empat akar masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat, namun semuanya itu dianggap pepesan kosong. Jakarta tetap ngotot melakukan pendekatan bersenjata. Upaya Komnas HAM RI dan Amnesti Internasional mengupayakan dialog damai, dan itu hampir mencapai titik implementasi, namun tak terwujud.

Rupanya ada pihak berkepentingan yang menginginkan konflik Papua terus berlanjut. Beberapa waktu lalu terjadi penembakan para penambang emas ilegal di wilayah Yahukimo yang menewaskan kurang lebih enam orang warga pendatang dan yang lain luka luka.

Kemudian ada pihak yang mengatakan bahwa konflik di Yahukimo adalah masalah perebutan lahan tambang emas antar beberapa kelompok KKB! Pernyataan tersebut sebenarnya membuka kedok pihak yang berkepentingan dalam konflik Papua, karena di lokasi pertambangan terdapat alat berat berupa ekskavator. Pertanyaannya apakah pihak KKB memiliki ekskavator? Dari mana KKB membeli atau memiliki alat berat tersebut? Kalau memang bukan milik KKB lalu siapa pemilik alat berat itu?

Sejak terjadinya konflik bersenjata di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya dan Puncak, ribuan warga meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi ke kabupaten tetangga untuk mencari rasa aman. Pada umumnya mereka mengungsi ke Kabupaten Mimika, Jayawijaya dan Asmat. Di tempat pengungsian mereka harus membanting tulang untuk mendapat rezeki demi mempertahankan hidup.

Para pengungsi tidak mendapat perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah, apalagi dari masyarakat Indonesia. Mereka mencari makan sendiri, urusan kesehatan sendiri dan sendiri pula mencari akses pendidikan untuk anak-anaknya. Di tempat asal mereka memiliki sumber daya yang memberi hidup, namun di daerah pengungsian mereka hidup apa adanya. Akibatnya ada sekian puluh pengungsi merenggang nyawa. Tak ada yang peduli? Jakarta hanya sibuk menetapkan OPM sebagai kelompok teroris dan terus mengirim personel TNI-Polri ke Papua untuk membackup keamanan di daerah konflik.

Untuk masalah Palestina mayoritas rakyat Indonesia menggalang gerakan kemanusiaan untuk krisis kemanusiaan di sana. Bahkan Ketua MPR dan DPR serta beberapa petinggi partai turut mengambil bagian dalam gerakan pro Palestina di Jakarta. Seolah hati mereka lebih dekat dengan masyarakat Palestina dari pada masyarakat asli Papua yang sedang merenggang nyawa karena konflik bersenjata yang tak kunjung berakhir. Dan sentral konflik adalah di Nduga dan Intan Jaya! Kenapa harus di Nduga dan Intan Jaya? Ternyata setelah ditelusuri ditemukan jawaban bahwa di Intan Jaya ada gunung emas baru yang bila dieksploitasi baru akan habis dua ratus tahun lagi. Maka konflik Papua memiliki kepentingan politik dan ekonomi seperti yang dikatakan Haris Azhar dari KONTRAS adalah fakta.

Negeri ini memang doyan ngurus rumah tangga orang tetapi lupa bahwa dalam rumah tangganya sendiri situasinya tidak sedang baik-baik saja. Atas nama konstitusi  negara menyatakan sikapnya untuk pro Palestina, namun terhadap masalah Papua negara mengabaikan prinsip kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial. Rakyat negara ini pun lebih ngotot memikirkan kemanusiaan masyarakat Palestina lantas menutup mata dan telinga terhadap jerit dan tangis Orang Asli Papua di daerah konflik dan tempat pengungsian.

Setiap tahun ratusan triliun masuk ke kas negara dari hasil tambang dan perkebunan dari tanah Papua. Jutaan jiwa orang Non Asli Papua mencari makan di Papua namun mereka seolah tak peduli akan krisis kemanusiaan yang sedang terjadi.

Sikap seperti ini apa memang lahir dari nurani manusianya atau karena takut dan sungkan akan dicap sebagai pendukung OPM? Sejatinya kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam sebuah peradaban. Kemanusiaan tak dapat dinilai dan tak bisa digadaikan untuk kepentingan apa pun. Kemanusiaan adalah kemanusiaan yang harus digubris oleh setiap orang yang punya hati nurani. Gaung gerakan peduli krisis kemanusiaan di rumah kita dan seruan dialog damai yang sudah sekian lama digemakan, kiranya mengetuk nurani kita dan siapa pun yang berkepentingan untuk memikirkan kemanusiaan dan perdamaian di tanah Papua.