Tulisan ini didedikasikan untuk Gibran karena kepadanyalah saya menaruh perhatian serius.
Oleh Pius Rengka
Filsuf hermeneutika Prancis, Paul Ricoeur (1990), dikenal antara lain karena konsep “Oneself as Another” (diri sendiri sebagai orang lain). Konsep ini dipakai untuk menuntun hadirnya pertimbangan etis terhadap tiap langkah politik Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden pasangan Prabowo Subianto.
Usai ia ditetapkan sebagai cawapres dan keputusan MKMK, pekan silam, riuh kritik gaduh. Blocking politik pun meluap. Tetapi, bagi kita telah jelas. Munculnya dua kubu ekstrem. Kelompok pro dan kaum protes.
Memang benar diterima, bahwa fasilitas sistem politik demokrasi telah menyiapkan ruang luas bagi Gibran untuk dicalonkan atau mencalonkan diri pada posisi politik apa pun yang dimauinya. Tetapi, ruang itu tidak serta merta diisi tanpa kontrol etika yang memadai karena semua kebenaran etis mesti dirujuk untuk tidak menodai aturan main demi pemuliaan martabat manusia.
Aturan main itulah yang sedang dan telah riuh digugat berbagai kalangan lantaran Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Anwar Usman, yang adalah om kandung Gibran, berulah. Dia patut diduga keras bersekongkol, entah dengan siapa, menelikung kebenaran etis demi meloloskan Gibran calon wakil presiden.
Posisi kepentingan politik Anwar Usman terasa amat ruwet karena dia sulit membebaskan dirinya dari kehangatan relasinya dengan Gibran Rakabuming Raka. Anwar Usman melilit dirinya dalam sirkuit kemelut justru karena relasinya dengan subjek yang digugat khalayak ramai. Tetapi, dunia kini telah tahu pasti. MKMK pimpinan Prof. Jimly telah menjatuhkan sanksi hukum amat tegas.
Anwar Usman diberhentikan dari posisinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi lantaran dia terbukti sah telah melakukan pelanggaran etik. Meski demikian, fakta pencalonan Gibran Rakabuming Raka tidak batal atas nama prinsip hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur artinya keputusan hakim harus dianggap benar. Entah apa pun mungkin reaksi masyarakat. Tulisan ini didedikasikan untuk Gibran karena kepadanyalah saya menaruh perhatian serius.
Instrumentalis
Sudah sedari awal, timbul pertanyaan, sesungguhnya Anwar Usman merepresentasikan ideologi politik mana dalam urusan dengan keputusannya mengubah arah persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden? Apakah Anwar Usman seorang konstitusionalis yang seharusnya setia pada ketentuan dan penegakan hukum sesuai konstitusi? Ataukah dia penganut instrumentalis sejati yang menempatkan dirinya tidak sebagai representasi institusi negara yang independen dan memiliki kedaulatan politik, tetapi sebagai instrumen administrasi yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan oleh kelas-kelas sosial yang mengontrol kekuasaannya? Demi menjawab dua pertanyaan itu, pikiran Pau Ricoeur dipakai.
Baca juga:
- Menafsir “Keanehan” Menghilangnya Harun Masiku
- Menafsir Dinamika Koalisi Hingga Perutusan Kaesang Pangarep di PSI
Paul Ricoeur, bukan pemikir instrumentalis. Dia justru menawarkan tindakan etis tentang cara manusia mengenal diri sendiri. Semisal Gibran Rakabuming Raka. Dia diingatkan untuk pertama-tama berkewajiban menggugat nuraninya sendiri dengan pertanyaan, siapakah aku ini (Who am I).
Pertanyaan siapakah aku ini, diletakkan pada konteks dinamika konflik politik yang kini kian meluas. Mengenal diri itu perlu dan penting sejauh Gibran menyadari bahwa identitasnya berguna bagi kepentingan relasinya dengan orang lain. Dia berguna tidak hanya untuk menjaga relasi politiknya dengan dan melalui orang lain, tetapi juga secara bersama-sama mendorong kian menguatnya demokrasi bermakna (meaningful democracy) di Indonesia.
Tentu saja, Gibran tidak meletakkan konteks relasinya dalam paradigma kaum instrumentalis (Engels, 1845), ketika melihat kekuasaan negara selalu berada di tangan kelas sosial tertentu (middle class) yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan mempertahankan dominasi ekonomi dan politik atas kelas-kelas sosial lainnya. Gibran diletakkan sebagai aktor politik prodemokrasi, pro konstitusi, dan setia pada kebaikan universal.
Saya masih menaruh harapan, karena salah satu aspek dasariah yang ada pada manusia (juga Gibran) yakni kecenderungan kodratinya untuk mengarahkan diri keluar dari dirinya sendiri dan terarah kepada sesuatu yang lain. Artinya, Gibran masih memiliki kesadaran untuk berkontak dengan yang lain.
Kesadaran yang dimilikinya bersifat intensional karena mengarah kepada objek yang lain dan berbeda dari kesadaran itu sendiri. Kesadaran itu tidak semata-mata hanya mengandung unsur pengertian (knowing), tetapi juga mengandung aspek afektif (perasaan/feeling) dan aspek efektif-aktif (pelaksanaan/acting). Dengan kata lain, kesadaran tak hanya cukup diucapan (oratio), tetapi juga kesadaran yang mengandung pertimbangan kritis (reflectio) serentak contemplatio (menggugat nilai dasariah) agar membuahkan tindakan (actio) etis.
Perspektif Paul Ricouer niscaya relevan dan signifikan justru karena pengandaian bahwa Gibran mencintai kebaikan, menghormati kebenaran dan respect to the others person (orang lain). Tetapi, Gibran dipastikan mencintai dirinya sendiri. Serentak dengan itu, Gibran (sedang) di tengah kelindan konflik politik yang bermakna yang berhasrat untuk meniadakan yang lain (memusuhi orang lain).
Ketika Gibran memusuhi orang lain, maka sesungguhnya dia sedang memusuhi dirinya sendiri. Alur logika yang sama berlaku untuk Anwar Usman, paman semendanya.
Ketika saya mencermati menguatnya arus gelombang protes keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat layak usung jadi cawapres, maka satu hal bagi saya telah jelas. Gibran telah berhasil menciptakan musuh demi melayani naluri kuasa melalui sarana sistem politik “demokrasi”. Apakah itu perlu?
Saya sangat dapat mengerti. Bahwa identitas Gibran tidak hanya dapat dipahami secara terisolasi. Artinya, Gibran tidak hadir dalam ruang kosong. Kehadirannya selalu terkait dan dikaitkan dengan kehadiran orang lain karena adanya kesadaran. Melalui dan dalam interaksi dengan orang lain itulah Gibran terkepung (mungkin juga terbimbing) oleh konteks masyarakat. Maka, Gibran patut mengembangkan pemahaman tentang dirinya sendiri melampaui hasrat berkuasa demi membela impian demokrasi bermakna.
Gibran mengidentifikasi diri dengan orang lain, merasakan empati, dan memahami pengalaman dan perspektif orang lain. Karenanya, Gibran cenderung menggambarkan hidupnya sebagai sebuah narasi atau cerita tentang aktor politik yang demokratis. Hal inilah yang memungkinkan Gibran membuat makna dari pengalaman hidupnya.
Melalui dan di dalam selimut tirai narasi, Gibran menciptakan “diri” sendiri dalam dan melalui konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Tampaknya, Gibran berhasil. Ia menciptakan diri sendiri selain lantaran dia adalah putra sulung Presiden Jokowi, tetapi juga dia mengalami ekstasi imajinasi oleh nikmatnya mereguk anggur kekuasaan sebagai Wali Kota Surakarta.
Meski demikian, konsep diri Gibran adalah sesuatu yang terus berubah dan berkembang seiring waktu karena individu tidak memiliki identitas yang tetap dan isolatif. Tetapi, identitas terbentuk melalui benturan refleksi, tabrakan kontemplasi, dialektika interpretasi, melalui dialog dengan orang lain. Hal ini berarti, Gibran dapat dan boleh mengubah pandangannya tentang diri sendiri dan orang lain melalui jalan refleksi, kontemplasi dan interaksi.
Baca juga:
- Menafsir “Keanehan” Menghilangnya Harun Masiku
- Menafsir Dinamika Koalisi Hingga Perutusan Kaesang Pangarep di PSI
Maka dengan demikian konsep “Oneself as Another” juga memiliki implikasi etis. Ricoeur menekankan pentingnya empati dan pengertian terhadap orang lain dalam pembentukan etika. Dalam aras kontemplasi pemahaman diri yang lebih dalam dan pengalaman berelasi dengan orang lain, maka inklusifitas individu dapat mengembangkan sikap etis yang lebih baik terhadap orang lain, menghormati hak asasi manusia, dan terutama kontributif terhadap pewujudan masyarakat yang lebih adil dan damai.
Di sinilah Paul Ricoeur menunjukkan betapa pentingnya memahami diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan cara laku terbaik (etis) membangun hubungan manusia dengan orang lain. Ia menggambarkan bagaimana pemahaman diri yang lebih dalam. Bagaimana pula formula empati terhadap orang lain agar berperan signifikan mendewasakan makna praksis identitas dan etika individu.
Karenanya, untuk sementara saya masih berpikir pro Paul Ricoeur. Tetapi, saya belum menuding. Apalagi saya menghakimi Gibran sebagai figur yang telah terbimbing cara pikir kaum Marxian. Bahwa gagasan tentang negara harus selalu dikaitkan dengan dua faktor kunci. Pertama, negara merupakan orde politik yang merepresentasikan kepentingan kelas sosial dominan, termasuk di dalamnya menjamin keberlangsungan dominasi modal atas tenaga kerja. Kedua, negara juga merupakan orde politik yang menjamin keberlangsungan akumulasi kapital tanpa gangguan perjuangan kelas.
Sampai di sini pertanyaan penting ini terus menderu datang berulangkali, siapakah aku ini (Who am I)? Jawabannya, saya adalah diriku sendiri sebagai orang lain (Oneself as Another).