Jakarta, detakpasifik.com — Para aktivis prodemokrasi dari kawasan Timur Indonesia, pekan silam menggagas terbentuknya komunitas Timur For Amin yang disingkat TIFA. Komunitas ini berafiliasi pada ideologi proses pemilu damai yang mendewasakan demokrasi deliberatif.
Penggagas TIFA, di antaranya Paskalis da Cunha, menjelaskan, TIFA terbentuk sembari memanggul ideologi bahwa pemilihan umum sebagai ajang pendidikan politik sekaligus evaluasi kritis terhadap keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Karenanya, rakyat diberi ruang seluas-luasnya untuk memilah dan memilih kandidat yang sekiranya paling sensitif dengan kerangka kebutuhan rakyat Indonesia kini dan ke masa depan.
Pembentukan komunitas TIFA bermula dari kekhawatiran bahwa rakyat sesungguhnya kurang mendapatkan informasi yang utuh dan lengkap tentang para kandidat presiden dan wakil presiden, terkhusus pasangan AMIN. Mengingat keterlibatan rakyat dalam Pemilu mestinya mengacu pada sikap fairness, elegan dan mengamini kompetisi politik elektoral yang sehat, maka tindakan memilih mengandaikan rakyat telah menerima informasi yang utuh dan lengkap tentang para kandidat presiden dan wakil presiden serta para calon anggota legislatif.
Demi maksud itu, komunitas TIFA berikhtiar agar rakyat harus disuguhkan informasi yang akurat tentang para kandidat. Bukan ditaburi dengan informasi yang telah diplesetkan, atau dibelokkan atau yang dibiaskan yang dikelola para buzzer yang tidak bertanggung jawab. “Informasi akurat tentang para calon itu penting agar rakyat dapat mempertimbangkan pilihannya secara tepat,” ujar Paskal, putra kelahiran Maumere, Flores, ini.
Paskal da Cunha menambahkan, demokrasi deliberatif adalah suatu pendekatan dalam sistem demokrasi yang menekankan peran partisipatif dan proses diskusi yang mendalam dalam pengambilan keputusan politik. Pendekatan ini menekankan pentingnya warga negara berpartisipasi aktif dalam proses politik. Tujuannya untuk mencapai kebijakan yang lebih baik dan lebih adil melalui dialog, diskusi, dan pemikiran kolektif.
“Dalam konteks elektoral legislatif dan presiden wakil presiden, maka ruang dialog kritis dengan para kandidat niscaya perlu dilakukan agar rakyat dan para kandidat sama mendapatkan ruang terbuka yang terang dan jujur,” ujar mantan aktivis PMKRI Jakarta ini.
Mulanya, pembentukan komunitas TIFA bertujuan agar kompetisi politik pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dengan pasangan lainnya, berlangsung damai dan penuh persaudaraan. Masing-masing pihak dan para pendukung wajib menjelaskan rinci dan seterang-terangnya tentang pasangan calon presiden dan wakil presiden yang didukung agar tidak terjadi bias demokrasi dan bias informasi.
Para penggagas TIFA, berkehendak menghimpun para tokoh agama, kelompok etnis tertentu untuk menggelar diskusi publik dengan para kandidat itu sendiri. TIFA menyiapkan ruang untuk melakukan kritik sekeras-kerasnya kepada calon Presiden AMIN, dan lainnya.
Hal itu diperlukan karena demokrasi deliberatif mengharuskan adanya diskusi terbuka dan transparan di antara warga negara, di mana berbagai pandangan dan argumen dapat diajukan, dipertimbangkan, dan diperdebatkan. Karena itu, para kandidat presiden dan wakil presiden siap untuk “dicincang” rakyat demi meluruskan informasi dan kapasitas para kandidat.
Pada dialog terbuka itu silakan rakyat mengkritik para kandidat seturut informasi yang mungkin diperolehnya dan membolehkan para kandidat menjelaskan seterang-terangnya dan sejujur-jujurnya sambil memberi contoh konkret yang dapat disentuh dan dilihat. Dalam dialog ini, kesetaraan partisipasi adalah keharusan demokrasi. Semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses deliberasi, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik mereka.
Karenanya, tujuan akhir dari demokrasi deliberatif adalah mencapai konsensus atau setidaknya kesepakatan yang mendalam mengenai kebijakan atau keputusan politik yang akan diambil. Dengan demikian syarat inklusi dan diversitas merupakan alam biasa dalam kompetisi demokrasi yang bernuansa deliberatif. Dalam demokrasi deliberatif, beragam pandangan, latar belakang, dan pengalaman masyarakat dihargai dan diikutsertakan dalam diskusi, sehingga memungkinkan munculnya perspektif yang beragam.
Meski ruang dialog terbuka dan telah dibuka, tetapi argumentasi haruslah rasional. Artinya dapat dipertanggungjawabkan secara objektif dan logis tanpa sikap apriori dan stereotipe tanpa dasar yang hakiki.
Demokrasi deliberatif menekankan pada argumentasi rasional dan penalaran yang didasarkan pada fakta dan bukti, bukan pada retorika atau emosi semata. Dengan demikian, keterbukaan dan akuntabilitas merupakan harga yang sangat wajar dalam kerangka membuat keputusan final. Begitu pun tindakan voting, harus berbasis informasi yang lengkap dan terang. Keputusan yang dihasilkan melalui demokrasi deliberatif harus transparan dan akuntabel, dan mereka harus didasarkan pada proses yang dapat dipertanggungjawabkan.
Demokrasi deliberatif menyoroti pentingnya proses politik yang inklusif dan mendalam, di mana keputusan politik tidak hanya didasarkan pada hasil pemungutan suara, tetapi juga pada kualitas argumentasi dan pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu yang dihadapi masyarakat. Pendekatan ini sering kali diterapkan dalam forum-forum seperti konsensus warga, panel warga, dan konferensi kewargaan untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan yang lebih demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Sesuai rencana, komunitas TIFA segera dibentuk di berbagai daerah di Indonesia Timur. Hal itu penting karena selama ini rakyat di kawasan Timur Indonesia diduga telah disuguhi dan menelan begitu saja berita terkait pasangan AMIN.
(dp/pr)